Selasa, 02 November 2010

THE OTHERSIDE and MORAL VALUE of HOLLYWOOD MOVIES


( Sisi lain dan pesan moral dalam film-film Hollywood )
Sari Hanarti 

            Sejak dari saya masih SMA, sering kali saya mendengar pameo tentang kenakalan remaja, perilaku menyimpang remaja yang konon kabarnya disebabkan karena pengaruh film-film luar. Saya jadi berfikir benarkah pendapat itu? Yang jelas saya rasakan, saya adalah penggemar film-film import sejak saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. By The Way sampai sekarang saya masih baik-baik saja, saya selamat dari yang namanya kenakalan remaja atau perilaku menyimpang. bahkan sekarang saya menjadi seorang guru SMA. Tetapi tidak dapat dipungkiri memang kesukaan saya pada film-film import itu sedikit banyak memberikan kontribusi pada pola pikir saya. Bukannya bermaksud  membela, tetapi mengajak untuk berfikir lebih bijaksana dalam menanggapi sesuatu yang sudah terlanjur diberi label negatif dan mencoba mengupas sesuatu yang dikatakan negatif untuk dicari sisi positifnya. Bukankah secara kodrati selalu ada sisi positif disamping negatif?

            Fenomena yang terjadi, sejak puluhan tahun yang lalu film-film buatan sineas barat terutama yang berlabel Hollywood, memberikan kontribusi yang sangat besar pada dunia hiburan  Indonesia. Apalagi sejak era pasar bebas dimana ada jargon Without frontiers’ alias tanpa batas dengan hadirnya internet. Hampir tak ada lagi batasan masuknya  hiburan yang satu ini. Beda sekali dengan jaman saya SD, dimana hanya bisa menonton satu saluran TV pemerintah, sehingga untuk menonton satu film saja harus rela tidur malam, belum lagi filmnya jadul banget. Atau waktu saya SMA, harus bersusah payah menabung untuk bisa melihat aksi Keanu Reeves atau Tom Cruise, aktor Hollywood yang sangat populer pada masa saya. Sekarang ini dengan uang 2000 perak kita sudah bisa menikmati aksi Captain Jack Sparrow atau Spiderman, walaupun dengan ekstra memicingkan mata karena nonton DVD atau VCD bajakan. Bahkan beberapa TV swasta memberikannya gratis buat kita.


            Saya masih ingat benar, film pertama yang saya tonton dan sangat berkesan sampai sekarang dan tak pernah saya bayangkan sebelumnya bahwa film yang saya tonton di TVRI waktu saya kelas empat SD itu sekarang menjadi sangat fenomenal bahkan seolah menjadi peradaban baru yang diciptakan oleh seorang manusia bernama George Lucas. Kalian pasti tahu film apakah itu. Jika tidak tahu berarti jangan sebut dirimu Gaul. Star Wars episode IV: The New Hope.

Seandainya saya bukan guru Biologi, saya tidak tahu pasti adakah film ini menjadi berkesan buat saya. Yang jelas saya merasa takjub sekali dan sangat apresiate pada pembuatnya. meskipun hanya sebuah fiksi, tetapi memang benar-benar dilandasi konsep ilmiah. Makanya kita sering mengkategorikan film semacam ini dengan sebutan Scifi singkatan dari science fiction alias fiksi ilmiah. Dan memang benar-benar ilmiah sekali, mulai dari setting sampai semua instrumennya. Ambil satu contoh, diceritakan tentang sepasukan tentara yang memiliki perform yang sama baik secara fisik maupun kekuatannya. mereka disebut Pasukan Klon yang dalam bahasa inggrisnya ‘Clones Army’. Kata ‘Clon’ adalah bentuk tunggal dari ‘Clones’ dan bentuk dasar dari ‘Cloning’ yang kita Indonesiakan menjadi Kloning. Padahal kita tahu film itu dibuat tahun 1977 dimana belum ada gambaran sedikitpun tentang teknologi Kloning. Ternyata prinsip kloning itu telah mereka aplikasikan dalam film itu. Simpulkan sendiri, ini suatu kebetulan, ramalan masa depan atau sebuah imajinasi seorang George Lucas yang mengundang rasa penasaran para ilmuwan dan tertantang untuk menjadikannya sebuah kenyataan. Seperti imajinasi Charlie Chaplin ‘piknik’ ke Bulan yang telah diwujudkan oleh Neil Armstrong.

            Jika ini hanya suatu kebetulan, lalu bagaimana dengan Imajinasi Stan Lee, si pencipta Spiderman? Bagaimana dia bisa tahu bahwa jaring laba-laba memiliki kekuatan yang besar sehingga seorang Spiderman bisa dengan santai berayun sawang menjelajahi kota New York? Padahal di tahun 30-an, awal tahun komik Spiderman dibuat, belum ada artikel atau ilmuwan yang secara terbuka menyelidiki kekuatan jaring laba-laba. Penelitian tentang jaring laba-laba baru dimulai pada akhir abad 20 yaitu sekitar tahun 90-an. Sekali lagi imajinasi seorang pencipta Spiderman menjadi sesuatu yang patut diacungi jempol karena bukan hanya imajinasi yang ‘ngoyoworo’, melainkan sebuah imajinasi yang dilandasi pemikiran ilmiah dan logis. Di tahun 90-an ditemukan fakta bahwa satu serat laba-laba memiliki kekuatan 30 kali lebih besar daripada satu serat baja dengan ketebalan yang sama. Hmmm…Bravo Stan Lee.


            Inilah the other side of Hollywood movies yang saya maksud dalam judul tulisan saya. Segalanya selalu ada penjelasan secara ilmiahnya. Tentang bagaimana sorang Peter Parker mengalami transformasi menjadi seorang superhero dalam waktu satu malam. Diawali dengan gigitan seekor laba-laba dimana gigitan itu mengakibatkan adanya penyisipan materi genetik laba-laba pada gen manusia, sehingga terjadilah mutasi gen. Penjelasan yang sangat logis dan ilmiah untuk menerangkan asal-usul seorang superhero.  Transformasi yang disebabkan oleh mahluk luar angkasa kadang memang agak sulit diterima akal, seperti Superman atau Venom, musuh Spiderman. Tetapi segalanya menjadi masuk akal di pikiran para sineas Hollywood.

            Mungkin sebagian orang akan segera memvonis saya sebagai ‘West Oriented’ atau ‘Hollywood minded’ tetapi saya tidak keberatan tentang penilaian itu sepanjang saya merasa benar dengan pandangan saya tentang Hollywood movies. Inilah sesuatu yang saya lakukan dan tidak dilakukan oleh banyak orang yang menonton film-film itu. Tak bisa dipungkiri, tujuan kita menonton film adalah untuk mencari hiburan dan sekedar refreshing. Jadi sebagian besar penonton hanya memfokuskan pada jalan ceritanya saja. Jadi kebanyakan dari mereka hanya bisa bilang ini film ber-genre action, romance, horor atau thriller. Tetapi mereka melupakan satu hal, hal yang saya katakan sebagai Moral Value atau pesan moral yang ingin disampaikan dalam sebuah film. Nah Lho…? pernahkah terpikir dalam benak kalian untuk mengamati pesan moral yang ingin disampaikan dalam sebuah film? Sesuatu yang sederhana dan nyaris terlupakan dan hampir tidak pernah saya temukan dalam sinetron-sinetron Indonesia.


            Saya sangat terkesan dengan film Independence Day, dalam film itu mengambil tema tentang invasi Allien dari Mars ke Bumi. Dari segi cerita saya bisa katakan biasa-biasa saja, terlalu umum karena mengambil tema klasik: Allien Invation. Tapi begitu banyak pesan moral yang saya temukan dalam alur ceritanya, tentang rasa cinta terhadap tanah air, kebersamaan, kerjasama, persahabatan, dan pengorbanan untuk menyelamatkan sebuah negara bernama Amerika Serikat. .! Jadi jangan salahkan orang Amrik yang kadang terlalu bangga terhadap negaranya, karena mereka tahu benar bagaimana menumbuhkan rasa itu bahkan dengan sebuah film sekalipun. Atau Legally Blonde, biarpun terkesan ‘cewek banget’, mengambil karakter seorang cewek blonde kalangan jetset yang manja dan beauty oriented dengan anjing Chihuahua-nya…tapi jangan salah, settingnya Perguruan Tinggi yang paling keren di dunia, Harvard University.. Dan meskipun tema yang diambil sangat sederhana, tetapi tidak mengesampingkan realita yang terjadi di Harvard, dunia pengacara, bahkan gedung House of Representative,  DPR-nya Amrik. Sedangkan pesan moral yang bisa diambil dari film tersebut adalah menjadi diri kita sendiri. Kadang tanpa kita sadari kita rela menjadi orang lain untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensi kita di masyarakat. Kita toh tidak perlu besusah payah memakai atribut kacamata tebal, memasang tampang serius dan berbekalkan buku-buku tebal kemana-mana untuk dianggap pintar oleh orang di sekitar kita. Sebaliknya, kita juga tidak perlu memaksakan diri mengikuti tren mode yang sedang populer untuk bisa terlihat cantik. Jadilah pintar atau cantik ala kita sendiri, seperti tokoh Elle Wood yang memilih pintar tanpa harus melepaskan jati dirinya sebagai ‘Barbie girl’. Bahkan segila-gilanya film American Pie, ternyata masih juga menyisipkan pesan moral tentang persahabatan, tanggung jawab and what a kind of True Love a la Amrik. Itu loh…Cinta sejati.

            So…Students, open your mind…!!! Lihatlah segala sesuatu bukan hanya dengan mata tapi gunakan pula pikiran dan hatimu untuk melihat. Sesuatu yang hanya dilihat dengan mata kadang hanya terkesan sebagai sepintas lalu. Jika kamu melihat film hanya karena siapa aktornya atau bagaimana ceritanya, laga, horor atau roman? maka bisa jadi memang benar: film akan menjadi pengaruh negatif buat kamu seperti pameo yang saya sampaikan diatas. Tetapi jika kamu bisa menangkap sisi lain dari sebuah film, maka percayalah bahwa film pun bisa jadi media belajar yang menyenangkan dan tak mudah terlupakan. Tahukah kamu bahwa saya banyak belajar dan tahu tentang sejarah Yunani dan Romawi dengan hanya menonton film berjudul ‘Hellen of Troy’ dan ‘Gladiator’.  Jika kamu pernah mengikuti seminar tentang Quantum Learning, atau membaca bukunya, atau mungkin hanya sekedar pernah dengar, saya pikir kita juga bisa menerapkan konsep Quantum Learning dengan film. Study with fun, menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri. Bukankah prinsip itu yang dikembangkan dalam Quantum Learning? Memahami adalah otak kiri, menonton adalah otak kanan. Coba kamu pikirkan hal ini! Berapa nama seniman Italia terkenal yang kamu ketahui setelah menonton film Teenage Mutant Ninja Turtles ( TMNT )? Jawabannya: Donatello, Raphael Sancti, Leonardo da Vinci dan Michaelangello Faria.

               Nah, sekarang bisakah kamu simpulkan ada berapa point pembelajaran yang dapat kamu ambil dari tulisan ini? Jika kamu cermat, ada beberapa hal yang sebelumnya kamu tidak tahu menjadi tahu. Jika kamu adalah seseorang yang segera ingin tahu banyak tentang kata yang tecetak miring, berarti kamu adalah seseorang yang peka dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Kembangkanlah rasa ingin tahu kamu, apapun yang kamu lihat, dengar dan rasakan segera cari tahu penjelasannya. Meskipun sesuatu itu beasal dari sebuah film atau komik sekalipun.

            Seseorang menjadi baik atau tidak, bukankah itu sebuah pilihan? sudah merupakan hukum alam: ada baik-buruk, positif-negatif. Kita manusia memiliki akal dan pikiran serta landasan agama. Kita diberi kebebasan untuk memilih, menjadi baik atau tidak baik. Kenakalan remaja dan perilaku yang menyimpang seperti yang banyak kita lihat fenomenanya sekarang, bagi saya hal itu adalah pilihan atas jalan hidup mereka sendiri. Jangan mudah terburu-buru menyudutkan sesuatu sebagai biang keladi atas terjadinya sebuah penyimpangan. Bukankah perilaku menyimpang itu sudah ada sejak jaman dahulu kala. Jaman nabi Adam belum ada film kan? tapi banyak juga orang yang perilakunya menyimpang alias orang jahat………..!!!

Finally, Students! Remember this : ‘COGITO ERGO SUM’…Kamu ada jika kamu berfikir !!!
                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar